Datuk Darah Putih adalah seorang hulubalang dari sebuah kerajaan di
negeri Jambi, Indonesia. Ia
terkenal sebagai seorang hulubalang yang
pemberani, jujur, sakti, dan cendikia. Pada suatu waktu, kerajaan itu
diserang oleh Belanda. Berkat kesaktian dan keberanian Datuk Darah
Putih, pasukan Belanda berhasil dikalahkan. Bagaimana Datuk Darah Putih
bisa mengalahkan mereka? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam
cerita Datuk Darah Putih berikut ini!
* * *
Alkisah,
di negeri Jambi, ada sebuah kerajaan yang memiliki seorang hulubalang
bernama Datuk Darah Putih. Diberi nama demikian, karena jika terluka
darah yang keluar dari tubuhnya berwarna putih. Ia seorang hulubalang
yang terkenal dengan kejujuran, kepandaian, keberanian, dan
kesakstiannya. Raja negeri itu sangat hormat kepadanya, berkat kepatuhan
dan kemampuannya menyelesaikan segala tugas yang diembannya.
Pada suatu hari, sang Raja memerintahkan Datuk Darah Putih untuk membentuk pasukan inti kerajaan.
“Wahai,
Datuk! Kumpulkan beberapa prajurit pilihan yang memiliki ketangkasan
perang yang tinggi, jujur, setia pada raja, rela berkorban untuk
kepentingan negeri, serta pantang menyerah dan mengeluh. Setelah itu,
latihlah mereka agar menjadi prajurit yang tangguh seperti dirimu!”
titah Baginda Raja.
“Daulah, Baginda!” jawab Datuk Darah Putih sambil memberi hormat.
Datuk
Darah Putih pun segera melaksanakan perintah raja. Tidak sulit baginya
untuk memilih prajurit yang akan dijadikan pasukan inti. Sebab, sebagai
seorang hulubalang, ia sudah mengetahui semua kepribadian dan kemampuan
perang semua prajuritnya. Dalam waktu singkat, Datuk Darah Putih sudah
berhasil mengumpulkan puluhan prajurit pilihan, lalu melatih kemampuan
perang mereka dengan penuh kesungguhan. Setelah hampir setahun berlatih
secara terus-menerus, seluruh anggota pasukan inti tersebut telah
menjadi prajurit yang tangguh, pemberani, dan siap mengorbankan jiwa
raganya untuk negeri mereka.
Pada suatu hari, sang Raja mendengar laporan dari seorang mata-mata bahwa Belanda akan datang menyerang negeri mereka.
“Gawat, Baginda!” lapor seorang mata-mata kerajaan yang datang tergopoh-gopoh.
“Ada apa, Prajurit? Kenapa kamu panik seperti itu? Katakanlah!” desak sang Raja.
“Ampun,
Baginda! Pasukan Belanda akan menyerbu negeri kita. Mereka sedang
menuju kemari melalui jalur laut,” lapor mata-mata itu.
Mendengar
laporan itu, sang Raja terdiam, lalu beranjak dari singgasananya. Ia
kemudian mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang lebat.
“Mmm...
kedatangan mereka pasti ingin mengeruk kekayaan negeri ini. Mereka
adalah penjajah yang serakah dan suka mengadu domba penduduk negeri,”
kata sang Raja yang sudah mengerti watak penjajah Belanda.
“Apa yang harus kami lakukan, Tuan?” tanya Datuk Darah Putih.
“Karena mereka melalui jalur laut, tentu hanya satu jalan yang dapat dilalui, yaitu Selat Berhala,” ungkap sang Raja.
“Berarti
kita harus menghadang mereka di sekitar Pulau Berhala, Tuanku,” sambung
Datuk Darah Putih yang sudah mengerti maksud perkataan sang Raja.
“Benar,
Datuk! Besok pagi-pagi sekali, berangkatlah ke sana. Hadang dan
hancurkan mereka di Selat Berhala. Siapkan seluruh pasukan inti dan
beberapa prajurit lainnya!” titah sang Raja.
“Daulah, Baginda! Perintah segera hamba laksanakan,” jawab Datuk Darah Putih sambil memberi hormat.
Hulubalang
sakti itu pun segera memerintahkan seluruh pasukannya untuk menyiapkan
segala peralatan perang yang diperlukan seperti pedang, tombak, dan
keris. Mereka juga menyiapkan bekal makanan, karena diperkirakan masih
dua hari lagi kapal pasukan Belanda baru memasuki Selat Berhala. Mereka
harus berangkat lebih awal untuk mempersiapkan benteng pertahanan di
Pulau Berhala.
Setelah semua peralatan dan bekal disiapkan,
pasukan kerajaan yang akan berangkat berperang diperintahkan
beristirahat lebih dulu untuk memulihkan tenaga setelah seharian
melakukan persiapan. Sementara prajurit lainnya tetap berjaga-jaga di
lingkungan istana dari berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Di kediamannya, Datuk Darah Putih tampak sedang bercengkerama bersama istrinya yang sedang hamil tua.
“Dinda! Bagaimana keadaan anak kita?” tanya Datuk Darah Putih sambil mengelus-elus perut istrinya yang buncit.
“Baik, Kanda! Semoga kelak anak kita lahir dengan selamat,” jawab sang Istri.
“Dinda!
Besok Kanda bersama pasukan kerajaan akan berangkat ke medan perang
untuk bertempur melawan penjajah Belanda. Tolong jaga baik-baik anak
kita yang ada di dalam rahimmu ini!” pinta Datuk Darah Putih kepada
istrinya.
“Tentu, Kanda! Dinda akan selalu merawatnya dengan
baik. Jika anak kita laki-laki, Dinda berharap semoga kelak ia menjadi
seorang panglima yang sakti dan pemberani seperti Kanda,” ucap sang
Istri dengan penuh harapan.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali,
Datuk Darah Putih bersama pasukannya sudah bersiap-siap untuk berangkat
ke Pulau Berhala dengan menggunakan tiga buah jongkong (perahu atau
tongkang) besar. Para keluarga istana, termasuk istri Datuk Darah Putih,
ikut mengantar pasukan kerajaan tersebut sampai ke pelabuhan. Tidak
tampak adanya rasa sedih sedikit pun pada wajah sang Istri. Sebelum
meninggalkan pelabuhan, hulubalang sakti itu berpamitan kepada istrinya
yang sedang berdiri di samping sang Raja.
“Hati-hati, Kanda! Doa
Dinda senantiasa menyertai Kanda. Jika sudah berhasil menumpas para
penjajah itu, cepatlah kembali!” pesan sang Istri.
“Baik, Dinda!
Kanda akan kembali membawa kemenangan untuk negeri ini,” jawab Datuk
Darah Putih sambil mencium kening dan perut istrinya, lalu bergegas naik
ke atas jongkong.
Beberapa saat kemudian, ketiga jongkong
tersebut berlayar menuju ke Pulau Berhala. Tampak dari kejauhan para
pasukan kerajaan melambaikan tangan di atas jongkong. Para pengantar pun
membalasnya dengan lambaian tangan pula. Setelah ketiga jongkong
tersebut hilang dari pandangan, barulah para pengantar meninggalkan
pelabuhan.
Setelah Datuk Darah Putih dengan pasukannya sampai di
Pulau Berhala, mereka langsung mengatur strategi, membuat
benteng-benteng pertahanan, dan tempat pengintaian. Jongkong-jongkong
mereka tambatkan di balik batu karang besar yang ada di sekitar Pulau
Berhala agar tidak terlihat oleh pasukan Belanda. Sambil menunggu
kedatangan musuh, Datuk Darah Putih kembali menggembleng mental
pasukannya.
Keesokan harinya, tampak dari kejauhan iring-iringan kapal pasukan Belanda akan memasuki Selat Berhala.
“Datuk, musuh kita telah datang. Mereka sedang menuju kemari,” lapor seorang prajurit pengintai.
Mendengar laporan itu, Datuk Darah Putih segera menyiapkan seluruh pasukannya.
“Pasukan!
Ambil posisi masing-masing! Sekaranglah saatnya kita membaktikan diri
kepada Baginda Raja dan negeri tercinta ini!” seru Datuk Darah Putih
memberi semangat kepada pasukannya.
Mendengar seruan itu, pasukan
kerajaan segera menaiki ketiga jongkong mereka dan menempati posisi
masing-masing. Ketika iring-iringan kapal Belanda memasuki Selat
Berhala, ketiga jongkong pasukan kerajaan langsung meluncur ke arah
kapal-kapal Belanda. Saat jongkong-jongkong tersebut merapat, Datuk
Darah Putih beserta pasukannya segera berlompatan masuk ke dalam
kapal-kapal Belanda sambil menebaskan pedang dan menusukkan keris ke
arah musuh. Pasukan Belanda yang mendapat serangan mendadak itu menjadi
panik. Mereka tidak sempat lagi menggunakan bedil mereka. Untuk
mengimbangi serangan dari pasukan kerajaan, mereka menggunakan pedang
panjang. Namun karena dalam keadaan tidak siaga, mereka pun terdesak dan
tidak berdaya. Tidak seorang pun dari pasukan Belanda yang selamat.
Semuanya tewas terkena sabetan pedang dan tusukan keris.
Sementara
dari pihak pasukan Datuk Darah Putih hanya ada beberapa prajurit yang
terluka. Sebelum kembali ke benteng pertahanan di Pulau Berhala, mereka
mengambil senjata dan semua perbekalan yang ada, lalu membakar semua
kapal Belanda tersebut.
Sesampainya di Pulau Berhala, pasukan Datuk Darah Putih segera merayakan kemenangan itu dengan gembira.
“Datuk! Kita harus segera kembali ke istana untuk menyampaikan berita gembira ini kepada Baginda Raja,” ujar seorang prajurit.
Datuk Darah Putih hanya tersenyum mendengar laporan itu.
“Ketahuilah, Prajurit! Perjuangan kita belum selesai,” jawab Datuk Darah Putih.
“Apa maksud, Datuk? Bukankah semua pasukan Belanda telah tewas?” tanya prajurit itu tidak mengerti.

“Benar
katamu, Prajurit! Tapi, itu hanya sebagian kecil. Jika Belanda tidak
mendengar berita dari pasukannya yang dikirim dan kita kalahkan itu,
tentu mereka akan mengirim pasukan yang lebih besar lagi,” jelas Datuk
Darah Putih.
Mendengar penjelasan itu, sang Prajurit hanya bisa
manggut-manggut. Dalam hatinya berkata bahwa Datuk Darah Putih memang
seorang hulubalang yang cerdik dan pandai.
“Lalu apa tindakan kita selanjutnya, Datuk?” tanya prajurit itu.
“Iya,
Datuk! Apakah kita harus tetap di sini menunggu kedatangan pasukan
Belanda selanjutnya?” sambung seorang prajurit yang lain.
“Benar,
Prajurit! Menurut perkiraanku, pasukan Belanda akan tiba di tempat ini
tiga hari lagi. Oleh karenanya, kita harus lebih siap, karena kita akan
menghadapi pasukan Belanda yang jumlahnya lebih besar,” ujar Datuk Darah
Putih.
Ternyata benar perkiraan Datuk Darah Putih. Tiga hari
kemudian, tampak iring-iringan tiga kapal besar dengan jumlah serdadu
yang lebih banyak sedang memasuki Selat Berhala. Namun, hal itu tidak
membuat Datuk Darah Putih gentar. Ia pun segera menyiapkan pasukannya
untuk menghadang mereka.
“Pasukan! Demi negeri ini..., demi masa
depan anak cucu kita..., berperanglah sampai titik darah penghabisan!”
seru Datuk Darah Putih menyemangati pasukannya.
“Hidup Datuk! Hidup Datuk Darah Putih!” terdengar teriakan para prajurit dengan penuh semangat.
Setelah
itu, pasukan Datuk Darah Putih segera menaiki jongkong-jongkong lalu
meluncur dan merapat ke kapal-kapal Belanda. Kali ini, mereka menghadapi
musuh yang lebih berat. Jumlah pasukan Belanda lebih banyak dibanding
pasukan kerajaan, sehingga pertempuran itu tampak tidak seimbang.
Seorang prajurit kerajaan terkadang harus menghadapi dua sampai tiga
orang serdadu Belanda.
Di haluan kapal, tampak Datuk Darah Putih
dikeroyok oleh tiga orang serdadu Belanda. Tidak lama, ia pun mulai
terdesak dan tiba-tiba batang lehernya tersabet pedang seorang serdadu
Belanda. Maka keluarlah darah putih dari lehernya itu. Namun, dengan
sisa-sisa tenaga yang ada, ia tetap melakukan perlawanan.
“Prajurit!
Aku terkena pedang. Bawa aku mundur dan yang lain tetaplah bertempur
sampai titik darah penghabisan!” teriak Datuk Darah Putih sambil
menghindari serangan serdadu Belanda.
Mendengar teriakan itu,
beberapa orang prajurit pilihan pun datang membantunya. Dalam waktu
singkat, ketiga serdadu Belanda tersebut tewas. Datuk Darah Putih segera
dibawa ke Pulau Berhala untuk mendapatkan perawatan. Sesampainya di
sana, ia didudukkan di tempat yang aman dan tersembunyi. Para prajurit
telah berusaha menutup luka pimpinannya, namun darah putih tetap saja
keluar.
“Tolong carikan aku anak batu sengkalan untuk menutupi luka di leherku ini!” perintah Datuk Darah Putih.
Dengan
sigapnya, salah seorang prajurit segera mencari batu seperti yang
dimaksud pimpinannya itu. Tidak berapa lama, prajurit itu pun kembali
membawa sebuah anak batu sengkalan yang tipis, lalu menempelkannya pada
luka di leher Datuk Darah Putih. Darah putih itu pun berhenti dan tidak
keluar lagi.
Begitu lukanya tertutup batu sengkalan, Datuk Darah Putih tiba-tiba bangkit dari duduknya, lalu melompat ke atas jongkong.
“Terima kasih, Prajurit! Ayo kita kembali berperang melawan penjajah!” seru Datuk Darah Putih dengan penuh semangat.
Prajurit
yang menolongnya itu pun segera mengikutinya naik ke atas jongkong.
Meskipun masih terluka, Datuk Darah Putih mampu melakukan perlawanan.
Bahkan, ia semakin lincah dan gesit memainkan pedangnya, sehingga banyak
serdadu Belanda yang terkena sabetan pedangnya. Tidak berapa lama,
akhirnya seluruh serdadu Belanda tewas.
“Horeee..., horeee... Kita menang!” terdengar suara gegap gempita pasukan kerajaan menyambut kemenangan itu.
Namun,
di balik kegembiraan itu tersimpan rasa duka yang mendalam melihat
keadaan Datuk Darah Putih yang terluka parah. Mereka pun kembali ke
benteng pertahanan di Pulau Berhala sambil memapah Datuk Darah Putih.
Berhubung hari sudah sore, mereka pun memutuskan untuk beristirahat
semalam di Pulau Berhala.
Keesokan harinya, Datuk Darah Putih
bersama pasukannya kembali ke istana kerajaan. Sesampainya di istana,
mereka disambut oleh keluarga istana dan rakyat negeri dengan perasaan
duka cita. Banyak orang yang iba melihat kondisi Datuk Darah Putih yang
terluka parah. Mengetahui suaminya datang, dengan perasaan tenang dan
tabah, istri Datuk Darah Putih menaruh bayinya di atas tempat tidur,
lalu segera menyongsong ikut memapah suaminya dan mendekatkannya pada
bayi mereka yang lahir dua hari sebelumnya.
“Kanda, Anak kita laki-laki. Lihatlah! Dia tampan seperti Kanda,” ujar sang Istri menghibur suaminya.
Dengan
sisa tenaga yang dimiliki dan dengan dibantu istrinya, Datuk Darah
Putih mengangkat bayinya, kemudian mendekap dan mencium keningnya dengan
penuh kasih sayang. Setelah itu, ia meletakkan bayi itu di pangkuan
istrinya.
“Maafkan Kanda, Dinda! Tolong rawatlah anak kita baik-baik!” pinta Datuk Darah Putih dengan suara pelan.
Setelah
itu, Datuk Darah Putih duduk di lantai rumahnya, lalu membaringkan
tubuhnya dengan pelan. Pada saat tubuhnya terbaring itulah Datuk Darah
Putih menghembuskan napasnya yang terakhir. Sang Istri hanya bisa
pasrah, karena ia sadar semua itu merupakan kehendak Tuhan Yang
Mahakuasa.
Demikian
cerita Datuk Darah Putih dari daerah Jambi. Cerita di atas termasuk
mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman
dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik
adalah pentingnya seorang pemimpin yang baik. Sifat ini tampak pada
sikap dan perilaku Datuk Darah Putih. Ia senantiasa memberi semangat dan
suri teladan kepada prajuritnya. Meskipun dalam keadaan terluka, ia
tetap bersemangat memimpin pasukannya dalam melawan pasukan Belanda.
Dalam
kehidupan orang Melayu, pemimpin yang baik sangatlah diutamakan. Untuk
itu, mereka selalu berusaha mengangkat pemimpin yang lazim disebut
“orang yang dituakan” oleh masyarakat dan kaumnya. Pemimpin ini
diharapkan mampu membimbing, melindungi, menjaga, dan menuntun kaumnya
(Tenas Effendy, 2006: 653). Dalam tunjuk ajar Melayu banyak disebutkan
tentang acuan dasar bagi seorang pemimpin yang baik, di antaranya: