putri pinang masak
( Masjid Al-Falah Kel Tanjung Batu peninggalan Usang Sungging dibangun tahun 1300 M.)
Layaknya
daerah lain, daerah-daerah di dataran sumatera, khususnya di Sumatera
Selatan sarat dengan cerita rakyat. Cerita rakyat atau dikenal juga
dengan istilah legenda rakyat bisa dihubungkan dengan terbentuknya suatu
tempat atau bisa juga asal usul dari penduduk, adat istiadat atau
budaya yang hingga sekarang diterapkan dan menjadi panutan masyarakat
setempat. Begitu juga dengan Cerita Rakyat Kecamatan Tanjung Batu,
memiliki beberapa cerita rakyat. Cerita yang sangat terkenal adalah
cerita mengenai KH. Abdul Hamid atau lebih dikenal dengan nama “Usang Sang Sungging” dan Putri Nafisah di Desa Senuro yang karena kecantikan rupanya kemudian lebih dikenal dengan “Putri Pinang Masak”.
Konon ceritanya dua tokoh ini sangat erat kaitannya dengan cikal bakal
bidang usaha dan mata pencaharian yang ditekuni oleh penduduk di
Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan.
Usang Sang Sungging atau lebih dikenal dengan sebutan Sang Sungging. merupakan sebuah kisah, pada jaman Kerajaan di Kesultanan Palembang, mengabdilah seorang pati bernama Abdul Hamid.
Beliau berasal dari keturunan kerajaan dari Pulau Jawa dan menetap di
Kesultanan Palembang. Beliau terkenal dengan beberapa keahliannya
seperti rancang bangun, melukis, mengukir/memahat bahkan menyiapkan
rencana-rencana yang akan dilakukan oleh Istana. Beliau sangat dekat dan
sudah dipercaya layaknya anggota keluarga oleh Sultan Palembang.
Diceritakan
bahwa, pada suatu masa beliau mendapat mandat dari Sultan untuk membuat
lukisan utuh permaisurinya. Mendapat tugas tersebut, Abdul Hamid
menyanggupi dengan senang hati. Siang dan malam dia melukis permaisuri
demi Sultan. Mendekati tahap akhir pengerjaan lukisan tersebut Sultan
mendatangi Abdul Hamid dengan maksud ingin melihat hasil lukisan yang
dibuat olehnya. Sultan kelihatan senang dan menunjukkan binar muka yang
puas atas lukisan yang dikerjakannya.
Pada
malam berikutnya, Abdul Hamid melanjutkan pekerjaannya melukis
permaisuri dengan sangat hati-hati. Dan…selesai sudah, gumannya
tersenyum gembira setelah menyelesaikan lukisan tersebut. Sambil menatap
hasil pekerjaannya, ia membayangkan wajah kegembiraan Sultan. Lama dia
berdiam sampai dia tertidur sekejap. dan tanpa disadarinya tinta yang
digunakannya menetes ke lukisan yang sudah jadi tersebut.
Keesokan
harinya dengan perasaan bangga, Abdul Hamid menghadap Sultan dan
menyerahkan lukisan yang dibuatnya. Alangkah terkejutnya dia, bukannya
pujian yang diterima tetapi malah caci maki. Melihat lukisan tersebut,
Sultan murka dan marah tanpa bisa terbendungkan. Sultan menghardik Abdul
Hamid dengan pernyataan yang penuh kecurigaan, dari mana Abdul Hamid
tahu kalau di paha kiri atas (dekat kemaluan) istrinya terdapat tahi
lalat sebagaimana hasil lukisan tersebut. Mendapat hardikan pernyataan
tersebut Abdul Hamid justru bingung bukan kepalang. Usut punya usut
ternyata hasil tetesan tinta yang tanpa disengaja dan disadari oleh
Abdul Hamid waktu dia mengantuk malam itu jatuh tepat di paha sebelah
kiri atas dari lukisan permaisuri, sehingga menyebabkan Sultan menuduh
jika Abdul Hamid telah berselingkuh dengan istrinya/permaisuri.
Mendapat
tuduhan seperti itu, Abdul Hamid berusaha menjelaskan hal yang
sebenarnya. Akan tetapi, kemarahan Sultan sudah tidak bisa dielakkan
lagi. Abdul Hamid pun diminta meninggalkan istana bahkan diancam akan
dihukum gantung. Mendapati situasi yang tidak menguntungkan seperti itu,
Abdul Hamid beserta hulu balangnya bergegas melarikan diri dengan
menggunakan perahu. Tanpa arah tujuan yang jelas mereka terus menyusuri
sungai menuju pedalaman demi menghindari kejaran tentara Sultan
Palembang pada waktu itu.
Berbulan-bulan
mereka mengayuh perahu kayu. Dari Sungai Ogan menyusuri sebuah lebak
yang kemudian dikenal dengan nama Lebak Meranjat. Merapatlah mereka di
sebuah hutan belantara seberang Tanjung Batu yang akhirnya menetap,
berdiam diri, bergaul di daerah tersebut sembari mengajarkan keahliannya
dalam hal bertukang, memahat, membuat perhiasan, hingga menyebarkan
ajaran agama Islam serta turut serta merancang puncak Masjid Al-Falah Tanjung Batu yang sekarang masih kokoh berdiri di Kampung Tiga Tanjung Batu. Masjid
ini memang sudah cukup tua, tapi masih berdiri kokoh, masjid ini
didirikan pada abad ke-13, sebagai peninggalan hasil karya asli SANG SUNGGING saat ini masih dapat dilihat UKIRAN PAHATAN KUBAH MASJID
yang diletakkan pada bagian atap masjid Al-Falah Tanjung Batu serta
beberapa hasil karya Sangsungging lain dalam Masjid yang sudah mengalami
renovasi antara lain Mimbar.
Karena
keahlian dan kepandaiannya, kian hari keberadaan Abdul Hamid dan
pengikutnya semakin mendapat tempat dihati penduduk. Karena berbagai
keahliannya ini terutama sekali keahliannya sebagai tukang kayu dan tukang pahat, maka oleh penduduk setempat beliau diberi gelar Usang Sang Sungging (Sang Sungging).
(Rumah Knochdown/Bongkar pasang, warisan keahlian Usang Sungging di Desa Tanjung Batu Seberang)
Selang
beberapa waktu beliau tinggal di seberang Tanjung Batu, terdengarlah
olehnya bahwa ada seorang putri cantik yang tinggal di hulu sungai dan
menetap di sebuah dusun bernama Senuro yang sekarang sudah menjadi 2
desa yaitu desa Senuro Barat dan desa Senuro Timur. Mendengar kabar ini,
Sang Sungging lalu mengirim utusan untuk mengadakan silaturahmi dengan
Putri tersebut. Sepulangnya dari tempat Sang Putri, para utusannya
membawa kabar baik bahwa maksud dan tujuan mereka diterima dengan baik
dan tangan terbuka oleh Puteri. Utusannya juga bercerita bahwa Sang
Putri senang mengajarkan kepada penduduk setempat bagaimana cara
mengerjakan kerajinan menganyam, membuat bakul dari kulit Batang bambu dan membuat kerajinan lainnya.
Mendengar
berita tersebut, Sang Sungging pun tidak dapat menyembunyikan
kegembiraannya dan memutuskan untuk segera bertemu Sang Putri. Setelah
kedua insan tersebut berjumpa, diketahuilah bahwa Putri tersebut bernama
Nafisah. Konon karena kecantikan rupanya dan kulitnya agak kemerah-merahan seperti buah Pinang Masak, maka oleh penduduk setempat ia dijuluki Puteri Pinang Masak. Lalu siapa dan dari manakah asal usul Putri Senuro atau Putri Pinang Masak?
Dari sejarahnya, Putri Nafisah atau Putri Pinang Masak
berasal dari daerah Banten, Jawa Barat dan sebelum sampai ke Desa
Senuro bermukim di Empat Ulu Laut tepian Sungai Musi. Berita bermukimnya
seorang putri di ulu laut Palembang yang kecantikannya tiada tara serta
tandingannya di seluruh kerajaan Palembang tersebar luas dikalangan
anak pembesar kerajaan, serta menjadi pembicaraan hangat para pemuda di
seluruh negeri, sehingga banyak yang berlomba ingin mendapatkannya.
Berita ini didengar juga oleh Sultan Palembang sehingga timbullah hasrat
Sultan untuk membuktikan kebenaran dari cerita tersebut dan melihat
dari dekat kecantikan Sang Putri. Jika memang benar, muncul hasratnya
untuk menjadikan Sang Putri sebagai gundik, penambah gundik yang telah
ada di istana.
Sultan
langsung mengutus beberapa pengawal istana untuk menjemput putri dan
membawanya ke istana. Sebelum para pengawal datang, putri rupanya sudah
lebih dulu mengetahuinya. Putri sangat bersedih hati, berusaha dan
berikhtiar bagaimana caranya menghindari hal tersebut. Bahkan akhirnya
Putri bersumpah lebih baik mati daripada menjadi gundik Sultan. Namun
puteri juga sadar bahwa untuk menghindari kekuasaan Sultan dan para
pengawalnya adalah suatu upaya yang tidak mungkin.
Putri
dan keluarganya lalu mencari cara bagaimana mengelabui para pengawal
istana yang hendak menjemputnya. Akhirnya munculnya tipu muslihat untuk
mengelabui mereka. Sebelum para pengawal istana tiba, Putri merebus
jantung pisang. Setelah dingin, air rebusan jantung pisang itu lalu
dibuat mandi oleh Putri, akibatnya badan Putri menjadi hitam pekat,
kotor dan kelihatan menjijikkan dan kemolekannya menjadi hilang.
Ketika
para Pengawal Sultan sampai dirumah Putri Nafisah, mereka sangat
terkejut dengan pemandangan ditemui. Mereka menjadi ragu apakah benar
orang yang berdiri dihadapan mereka adalah Putri Nafisah yang
kecantikannya menggemparkan seluruh negeri itu. Timbul keragu-raguan di
hati mereka untuk membawa Putri, namun karena ini adalah perintah Sultan
dan tidak boleh dilanggar, maka akhirnya mereka membawa juga Putri
Nafisah ke istana untuk dipersembahkan kehadapan Sultan.
Sesampai
di istana mereka langsung menghadap Sultan berikut Sang Putri. Begitu
melihat sosok yang berdiri dihadapannya, Sultan bertanya kepada para
pengawalnya, apakah benar yang mereka bawa ini adalah Putri Nafisah yang
terkenal kecantikannya tersebut. Para pengawal mengiyakan. Lalu Sultan
mengulangi pertanyaannya, kali ini ke arah Putri Nafisah. Mendapat
pertanyaan tersebut Putri Nafisah diam saja. Mendapatkan kondisi
tersebut, murkalah Sang Sultan dan seketika itu Putri Nafisah di usir
keluar dari istana. Maka dengan bergegas Sang Putri meninggalkan istana
dan kembali kerumahnya.
Mengetahui
tipu muslihatnya berhasil, Putri dan keluarganya merasa senang tiada
terkira. Seiring dengan perjalanan waktu, mereka pun kemudian hidup
tenang dan terlepas dari niat Sang Sultan. Namun, kondisi ini ternyata
tidak berjalan semulus yang mereka harapkan. Cerita kecantikan Sang
Putri ternyata masih tetap menjadi buah bibir di kalangan khalayak.
Sultan pun penasaran dan mengutus para penyelidik istana untuk
menyelidiki kabar yang berhembus tersebut. Para penyelidik bekerja
secara diam-diam dan dengan sangat cermat. Setelah melakukan pengamatan
beberapa lama, para penyelidik istana akhirnya mendapatkan fakta yang
sebenarnya. Mereka juga mengetahui tipu muslihat Sang Putri ketika
menghadap Sultan sebelumnya.
Mendengar
laporan dari para penyelidiknya, Sultan marah bukan kepalang.
Diperintahkannya kembali pengawal untuk menjemput Sang Putri secara
paksa. Namun sebelum para pengawal istana sampai, para pengikut setia
Sang Putri segera menyampaikan berita tersebut. Mendapati berita itu,
Putri dan keluarganya sangat terkejut dan sedih bukan kepalang. Mereka
berunding, usaha apa kali ini yang harus mereka lakukan untuk
menghindari niat Sang Sultan. Setelah berunding, akhirnya diputuskan
satu-satunya jalan adalah melarikan diri.
Dengan
persiapan seadanya, di suatu malam, bersama dengan dua orang dayang dan
dua orang pengawal, berangkatlah Putri Nafisah dengan menggunakan
sebuah rejung (perahu) menuju ke uluhan Sungai Ogan. Berbulan-bulan
rombongan Sang Putri menyusuri sungai dan lebak, sesekali mereka harus
menepi dan bersembunyi untuk menghindari kejaran para pengawal istana.
Akhirnya sampailah mereka pada sebuah lebak yang cukup luas, yang kelak
lebak itu bernama Lebak Meranjat. Di sebuah teluk yang bernama Teluk
Lancang, rejung atau perahu mereka dihadapkan ke teluk tersebut, dan
menyusuri sebuah sungai kecil (payo) yang arusnya sangat deras. Lalu
sampailah mereka di suatu tempat yang mereka perkirakan cukup aman dan
tidak mungkin ditemukan oleh para pengawal istana.
Kedatangan
seorang Putri beserta dayang dan pengawalnya cepat tersebar di telinga
penduduk sekitar. Penduduk pun beramai-ramai tinggal dan menetap bersama
Sang Putri. Untuk menghilangkan jejak, Putri Nafisah kemudian mengganti
namanya dengan sebutan Putri Senuro. Tempat bermukim mereka berkembang menjadi sebuah dusun yang kemudian diberi nama Desa Senuro,
sesuai dengan nama Sang Putri. Dua dayang dan dua pengawal putri ikut
hidup dan menetap disana. Mereka berjanji akan menyertai dan menjaga
puteri hingga akhir hayatnya.
Ditempat yang baru ini Sang Putri Pinang Masak
menjadi buah bibir para pemuda dan anak-anak orang terpandang di
sekitar wilayah tersebut. Sang Putri juga mempunyai kepandaian dalam hal
membuat anyaman. Putri Pinang Masak mengajarkan juga
kepandaian kepada penduduk terutama kaum remaja putrinya, terutama
anyaman untuk alat-alat memasak yang digunakan sehari-hari. Putri Pinang Masak
juga terkenal dengan keahliannya dalam membuat anyaman yang tidak
tembus oleh air. Sampai akhirnya kabar kecantikan dan keahliannya ini
turut di dengar oleh Sang Sungging.
Sang Sungging begitu terharu mendengarkan cerita dan pengalaman Putri Nafisah atau Putri Pinang Masak
ini. Ternyata mereka berdua mengalami peristiwa yang serupa. Dari
beberapa kali pertemuan, keduanya pun sepakat untuk menjalin tali kasih.
Keduanya juga tak segan bercerita mengenai kepandaian masing-masing.
Sang Sungging dalam hal bertukang, memahat, melukis dan membuat
kerajinan, sementara Putri Pinang Masak dalam hal membuat anyam-anyaman. Sang Sungging juga mendengar jika Sang Puteri bisa membuat anyaman yang tidak tembus air.
Suatu hari Sang Sungging ingin dibuatkan masakan gulai oleh Putri Pinang Masak.
Sang Putri memenuhi permintaan itu. Setelah gulai masak, dibuatlah
sebuah bakul dengan tudungnya untuk tempat gulai tersebut dan langsung
dikirim kepada Sang Sungging. Mendapat kiriman Dari Putri Pinang Masak, Sang Sungging
langsung membuka bakul tersebut dan alangkah herannya Sang Sungging,
karena sedikitpun kua gulai itu tidak menetes keluar. Sang Sungging
semakin percaya dan takjub dengan kepandaian Sang Putri Pinang Masak. Setelah habis gulainya dimakan lalu bakul tadi dikembalikan kepada Putri Pinang Masak.
Sebagai balasannya Sang Sungging menyuguh (menyerut) papan dengan
umbangnya (hasil suguhan kayu) hampir 9 meter tanpa terputus-putus.
Umbang kayu ini kemudian dimasukkan ke dalam bakul tersebut dan dikirim
kembali ke Putri Pinang Masak. Oleh Puteri umbang
tersebut kemudian dianyam menjadi bakul. Pada perjalanannya, bakul
inilah yang kemudian menjadi wadah hantaran lauk pauk dari Putri Pinang Masak ke Sang Sungging.
Kedua
sejoli itu saling berlomba menunjukkan keahlian masing-masing sembari
menjaga tali percintaannya menuju hari pernikahan. Persiapan demi
persiapan pun mereka gencarkan demi menjelang pelaksanaan pernikahan.
Sebelum pernikahan terjadi, datang beberapa orang pengawal Putri Pinang Masak menemui Sang Sungging membawa pesan bahwa Sang Putri Pinang Masak sedang jatuh sakit. Dari hari ke hari sakitnya bertambah parah dan tidak menunjukkan kesembuhan.
Dalam kondisi sakit parah tersebut Putri Pinang Masak
tetap memikirkan kelangsungan hidup kaumnya. Dia masih teringat dengan
kisahnya dulu dan tidak mau kaumnya kelak mengalami nasib serupa. Merasa
kondisinya sudah tidak bisa diharapkan lagi, sebelum meninggal Sang Putri Pinang Masak
berdoa dan bersumpah kepada yang maha kuasa agar kelak anak cucu
kaumnya tidak memiliki paras cantik seperti dirinya, karena kecantikan
itu akan membawa kesengsaraan.
Setelah melafazkan sumpah tersebut akhirnya Putri Pinang Masak
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Putri wafat dengan meninggalkan
empat orang dayang dan dua orang pengawal yang sangat setia termasuk
kekasihnya Sang Sungging. Putri lalu dimakamkan ditempat tersebut. Bagi
anak cucu kaumnya, Putri Senuro atau Putri Pinang Masak menjadi
pelambang kaum wanita yang menjunjung tinggi martabat. Setelah Sang
Putri meninggal, dayang-dayang dan pengawalnya bertekad akan tetap
berdiam di tempat itu, dan akan mati berkubur disamping kubur Sang
Puteri.
Makam
Sang Putri beserta dayang dan pengawalnya juga masih bisa dijumpai di
Desa Senuro Barat Kecamatan Tanjung Batu. Saat ini masih tergantung
beberapa helai pakaian Sang Putri. Adapun terhadap sumpah Sang Puteri,
Sampai saat ini sumpah tersebut masih terngiang di telinga penduduk Desa
Senuro Barat dan Desa Senuro Timur. Percaya tidak percaya, jika kita
berkunjung ke desa tersebut maka kita akan menemui pemandangan seolah
mencerminkan sumpah dari Sang Putri. Apakah ini sebuah kebetulan? atau
memang akibat dari sumpah Sang Putri, namun masyarakatnya saat ini sudah
banyak yang kaya raya dari hasil kebun karet di 2 desa ini, sehingga
sudah banyak para putri dari Desa Senuro yang memiliki paras nan cantik
kayak bidadari atau aslinya Putri Pinang Masak, mereka sudah pandai
bersolek sesuai dengan kehidupan dan alat kecantikan modern atau bahkan
datang mempercantik diri ke salon kecantikan.
Sedangkan
tentang Sang Sungging sendiri. Dalam sebuah cerita dikisahkan bahwa
keahliannya dalam bertukang termasuk membuat ukiran yang diceritakan
oleh penduduk desa dari mulut ke mulut akhirnya sampai juga di telinga
Sultan. Sebelumnya, Sultan telah menyadari kekeliruannya dalam menilai
Sang Sungging. Setelah mendengarkan penjelasan dari Permaisurinya dan
penasehat istana, Sultan berkesimpulan bahwa tetesan tinta yang
membentuk tahi lalat di paha kiri atas pada lukisan istrinya murni
akibat ketidaksengajaan Sang Sungging.
Sebagai
wujud dari penyesalannya dan sekaligus untuk membuktikan cerita orang
tentang keahlian Sang Sungging, Sultan mengirimkan utusannya. Melalui
utusannya ini Sultan menyampaikan kekeliruannya dalam menilai Sang
Sungging dan juga memesan daun pintu berukir. Singkat cerita, daun pintu
tersebut dapat diselesaikan oleh Sang Sungging persis seperti yang
dikehendaki oleh Sultan. Dari situ Sultan akhirnya benar-benar percaya
dengan berita tersebut.
Lalu
Sultan mengirimkan utusannya kembali, kali ini dalam misi mengajak Sang
Sungging untuk kembali ke Istana. Namun karena Sang Sungging merasa
sudah betah dan telah memiliki ikatan emosional dengan peduduk setempat,
ajakan Sultan tersebut ia tolak dengan penjelasan dan alasan yang
halus. Ia tetap pada pendiriannya untuk tinggal dan membangun bersama
penduduk setempat sampai akhir hayatnya. Setelah meninggal, Sang
Sungging akhirnya dimakamkan di sekitar desa pelariannya yaitu di
seberang Desa Tanjung Batu Seberang.
Sebagaimana
disinggung diatas, dari kedua tokoh ini sangat diyakini memiliki
hubungan erat dengan terbentuknya pola mata pencaharian penduduk lokal.
Usang Sungging, dengan keahliannya sebagai tukang kayu dan pembuat
kerajinan dari tangan telah mewariskan bidang usaha
pertukangan/pembuatan rumah panggung yang sekarang dikenal dengan RUMAH BONGKAR PASANG atau RUMAH KNOCKDOWN yang saat ini ditekuni oleh warga Desa Tanjung Batu Seberang dan Desa Tanjung Baru Petai dan kerajinan tangan seperti PERHIASAN PENGANTIN (dari kuningan) ditekuni oleh warga Kelurahan Tanjung Batu dan Tanjung Batu Timur, PANDAI BESI
(pembuatan golok, pisau dan lain-lain dari besi) ditekuni oleh warga
Tanjung Pinang I dan II, Limbang Jaya I dan II, Tanjung Laut, Tanjung
Dayang (Indralaya Selatan), PANDAI ALUMINIUM ditekuni oleh warga Desa Tanjung Atap dan pembuatan perhiasan dari emas dan perak atau PANDAI EMAS DAN PERAK ditekuni oleh warga Kelurahan Tanjung Batu dan Tanjung Batu Timur. Sementara Putri Pinang Masak mewariskan bidang usaha ANYAM-ANYAMAN dari Bambu dan Rotan yang hingga sekarang ditekuni oleh masyarakat Desa Senuro Barat dan Senuro Timur Kecamatan Tanjung Batu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar